
Kabar Pessel – Kebudayaan perlu dipelihara dan diselamatkan. Hal ini penting untuk menjaga identitas Daerah, sehingga tidak tenggelam dalam arus kebudayaan yang datang dari luar.
Penting juga untuk mengetahui perbedaan yang ada diantara kita, sehingga dengan demikian kita dapat saling memahami dan menerima perbedaan, yang tujuannya untuk memperkuat rasa persatuan yang merupakan syarat utama dalam pergaulan antara suku.
Kebudayaan termasuk dalam adat istiadat yaitu, kebiasaan yang dilakukan sekelompok masyarakat dalam kehidupan maupun dalam pergaulannya dengan masyarakat lainnya, dan kebiasaan ini akan mencakup segala bentuk tingkah laku yang mereka lakukan setiap hari.
Seperti halnya dalam pelaksanaan tradisi minum kopi sebelum dilaksanakannya acara pernikahan yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Lengayang, khususnya diKambang. Istilah tradisi minum kopi ini muncul karena pada saat pelaksanaan tradisi ini disediakan minuman kopi, hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat suka minum kopi. Tradisi Minum kopi sebelum acara pernikahan merupakan salah satu rangkaian dalam pelaksanaan acara pernikahan yang dilakukan masyarakat Kambang.
Tradisi minum kopi sebelum acara pernikahan ini sering juga disebut dengan istilah mufakat. Mufakat ini dibagi menjadi 2 bagian, yang pertama dinamakan dengan mufakat ketek, yang dimaksud adalah mufakat yang dilaksanakan guna untuk menjalin silahturahmi antara mamak dengan kemenakan.
Tujuannnya adalah untuk mencari kesepakatan atau kekompakan yang apabila ada perselisihan antara mamak dengan kemenakan atau kemenakan dengan kemenakan, dan lain sebagainya. Maka itu harus diselesikan terlebih dahulu atau dicari jalan untuk mendamaikannya agar pesta pernikahan yang diadakan nanti bisa berjalan dengan baik.
Kedua yaitu mufakat Gadang adalah mufakat yang dilaksanakan dengan mengundang mamak-mamak tanpa memilih suku, orang nagari, kepala kampung, ketua pemuda dan lain sebagainya.
Dari wawancara yang penulis lakukan bersama bapak Syaiful Bakhri, seorang Tokoh masyarakat di Nagari Kambang Timur, Kecamatan Lengayang, beliau mengatakan, bahwa tidak megetahui kapan mulanya tradisi minum kopi ini dimulai, namum tradisi ini sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan masyarakat setempat. Beliau juga mengatakan bahwa tidak adanya bukti tertulis yang menguatkan tentang sejarah dan kapan dimulainya tradisi minum kopi ini. Namun, tradisi ini sudah menjadi kebiasan masyarakat setempat yang masih dilaksanakan sampai sekarang.
Pada awal mulanya tradisi ini merupakan adat kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun dan masih terus dilakukan dalam kehidupan masyarakat, meskipun tata cara pelaksanaannya berbeda-beda disetiap tempat atau suku, akan tetapi makna dan tujuannya tetap sama.
Dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang masih dijalankan sampai sekarang. Karena setiap daerah mempunyai tradisi atau upacara yang harus dijalankan daerah itu.
Masing-masing upacara adat di Minangkabau adalah suatu rangkaian kegiatan dan aturan-aturan tertentu menurut adat yang berlaku dalam masyarakat minangkabau seperti upacara minum kopi sebelum acara pesta pernikahan yang berada di Pesisir Selatan. Dapat dikatakan bahwa suatu tradisi sudah mendarah daging bagi setiap anggota masyarakat dalam suatu daerah dan sudah menjadi ketetapan adat yang harus dilakukan dalam suatu kelompok masyarakat yang menjadi ikatan kekerabatan, baik kelompok masyarakat kecil dalam rumah tangga atau kelompok besar.
Jika dilihat dari tata pelaksanaannya, ada sedikit kesamaan dengan Skripsi Mesy Maisara dan Susi Fitria Dewi yang berjudul Tradisi Mimum Kopi Sebagai Rangkain Acara Pernikahan di Kenagarian Kapelgam, Kecamatan Bayang Pesisir Selatan, yaitu dari waktu dimulainya tradisi ini serta tata cara pelaksannannya hampir sama, yang membedakannya yaitu pada tradisi yang dilakukan di Bayang mereka yang hadir biasanya memeberikan sumbangan uang kepada pihak keluarga serta jarak waktu pelaksanaannya yaitu seminggu sebelum dilaksanakannyan acara pernikahan.
Sedangkan tradisi minum kopi yang ada di Kambang Timur, Kecamatan Lengayang, waktu pelaksanaannya 15 hari sebelum dilaksanakannya acara pernikahan dan diakhir acara akan diadakan makan bersama gunanya yaitu sebagai rasa terima kasih tuan rumah kepada mereka yang hadir dalam pelaksanaan acara minum kopi yang mereka adakan.
Dalam pelaksanaannya peran kaum kerabat sangat penting, dimana suksesnya acara tersebut tergantung keikutsertaan mereka baik dari segi pemeberian dan maupun tenaga yang disumbangkannya. Keikutsertaan mereka bukan saja pada hari berlangsungnya upacara melainkan sejak masa persiapan sampai selesainya upacara.
Secara umum maksud dan tujuan diadakannya upacara perkawinan adalah untuk meminta doa restu dari semua kaum kerabat dan masyarakat sekitarnya, dimaksudkan untuk memberitahukan kepada orang sekampung bahwa keluarga yang bersangkutan akan mengadakan upacara perkawinan. Tujuan diadakan mufakat untuk mencari kata sepakat dalam rangka memaksimalkan upacara perkawinan.
Maksud dan tujuan tradisi ini adalah untuk memberitahukan kepada keluarga dekat niniak mamak, urang Sumando, Bapak, Ibu, dan Bako bahwa kemenakan yang bersangkutan dengan anak kemenakan dari kaum lain atau istilahnya “Kama Angkek Alek” (mengadakan acara pernikahan) biasanya perundingan yang dilakukan dalam tradisi minum kopi ini sebelum acara baralek (pernikahan), menyangkut tata cara alek yang akan diadakan, persiapan-persiapan alek dan petugas-petugas alek, sekalian menghimpun dana bantuan atau goto royong untuk membiayai alek yang akan di adakan.
Tradisi ini sudah dilakukan sejak dahulunya oleh nenek moyang masyarakat setempat dan kemudian menjadi tradisi turun temurun oleh masyarakat, maksudnya adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat sekitar, bahwasanya anak yang mengadakan tradisi ini akan melaksanakan acara pernikahan, dalam acara ini biasanya dihadiri niniak mamak, kepala kampung, sumando, pemuda dan lain sebagainya.
Menurut sistem sosial Minangkabau, mamak dianggap bertanggung jawab terhadap keluarga besar matrilinealnya. Ia mesti bertanggung jawab terhadak kesejahteraan kemenakannya. Seorang mamak mempunyai kewajiban sosial, paling kurang secara moral, untuk mensejahterahkan keluarga besar matrilinealnya.
Fenomena saat ini banyak masyarakat yang tidak lagi mengikuti tradisi minum kopi, hal ini karena, pertama kurangnya pemahaman tentang makna minum kopi dari kaum laki-laki. Kemajuan zaman telah membawa pergeseran dari segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Pergeseran tersebut semakin terlihat dari hilangnya kebudayaan lama yang seharusnya dapat dilestarikan.
Tidak antusiasnya kaum laki-dalam melaksanakan tradisi minum kopi karena mereka tidak mau disibukkan dengan tradisi lagi. Hal ini dikarenakan pada siang hari mereka sudah lelah bekerja dan terkadang ada yang lembur sampai malam hari. Sehingga kaum laki-laki memanfaatkan waktu malam untuk beristirahat.
Kedua tidak adanya saksi dari pemuka masyarakat terutama saksi sosial telah membuat kaum laki-laki tidak segan atau merasa bersalah apabila tidak mengikuti tradisi minum kopi. Apabila dalam tradisi minum kopi terdapat saksi sosial bagi yang tidak melaksanakannya mungkin tradisi minum kopi akan terjaga kelestariannya.
Ketiga pengaruh dari budaya luar yang meyebabkan terjadinya kemerosotan adat istiadat yang ada pada masyarakat minangkabau. Hal ini juga berdampak buruk bagi tradisi minum kopi karena masyarakat tidak mau lagi dilibatkan dalam tradisi adat.
Keempat pelaksanaan acara minum kopi sudah dimulai menjelang tengah malam. Dahulunya pelaksanaan tradisi minum kopi ini dimulai setelah shalat maghrib, namun tidak untuk saat sekarang ini yang mengalami perubahan yang mana waktu pelaksanaannya dimulai setelah shalat Isya dan bahkan dimulai lewat dari 21.00 Wib malam.
Walaupun sekarang ini telah banyak pengaruh dari luar, tetapi tidak heran kalau budaya asli sulit dihilangkan atau dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Karena tradisi yang sudah membudaya itu sudah merasuk kehati masyarakat.
Penulis :
Mhd. Rizwan
(Penelitian Mahasiswa UIN Imam Bonjol