
kabarpessel.com – Pada tahun 1915 pemuka adat nagari Bayang Nan Tujuh dan Koto Nan Salapan (sebelum menjadi Kecamatan Bayang) mengadakan rapat di Koto Berapak dan Pulut-pulut untuk merumuskan tambo (Sejarah dan adat) Nagari Bayang yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Bayang dan cabang-cabangnya (Lumpo dan Salido) berasal dari tiga nagari di Kubuang Tigo Baleh (Solok sekarang), yaitu Muaro Paneh, Kinari dan Koto Anau.
Mereka migrasi sesudah kedatangan nenek moyang masyarakat Kecamatan XI Koto Tarusan disebelah utara, dibalik bukit Kecamatan Bayang.
Pasca Perang Paderi, semua wilayah Minangkabau dikuasai oleh pemerintahan kolonialis Hindia Belanda langsung dibawah kendali kerajaan Belanda, bukan lagi melalui VOC. Otomatis sistem pemerintahan di Pesisir Selatan juga mengikuti sistem yang dibangun oleh Belanda.
Pemerintahan Adat di Kabupaten Pesisir Selatan juga dirombak oleh pemerintah Hindia Belanda seperti diciptakannya beberapa gelar penghulu yang baru dan menyingkirkan gelar-gelar yang dipegang oleh penghulu adat yang menentang Belanda.
Bukit Sigarapai diantara Lumpo dan Bayang menjadi saksi perjuangan rakyat Kabupaten Pesisir Selatan yang bergerilya menentang penjajahan Belanda.
Pada masa penjajahan itu, rakyat Pesisir Selatan banyak melakukan “ijok” atau bersembunyi di hutan-hutan. (*)