
Kabarpessel.com – Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik, Kecamatan Bayang lahir pada 1026 H/1606 M. Riwayat Hidup beliau merupakan Jaringan pendidikan Islam melalui pasisie yang kedua.
Dari kisah Syekh Burhan al-Din dan sejarah Syekh Muhammad Nasir yang ditulis oleh Imam Maulana Abd al-Manaf Amin al-Khatib bahwa ada lima orang Minangkabau pergi menuntut ilmu kepada Syekh Abd al-Rauf Singkel, Aceh.
Pertama Pono dari Ulakan, Pariaman, kedua Mutanasir (Syekh Muhammad Nasir) dari Koto Tangah Padang, ketiga Tarapang dari Solok, keempat Buyuang Mudo dari Bayang, Pesisir Selatan dan kelima Datuk Maruhum Panjang dari Padang Ganting.
Dari kelima orang Minangkabau ini, hanya si Pono yang diangkat menjadi khalifah dari Syekh Abd al-Rauf Singkel dan bergelar Syekh Burhan al-Din, sedangkan yang empat orang lagi pulang ke Minangkabau tanpa memperoleh gelar khalifah.
Mereka dianjurkan oleh Syekh Abd al-Rauf untuk menimba ilmu pada Syekh Burhan al-Din di Ulakan. Akhirnya mereka yang berempat ini berguru kepada Syekh Burhan al-Din di Ulakan, Pariaman setelah Syekh Burhan al- Din mendirikan surau di Tanjung Medan, Ulakan, Pariaman.
Setelah mereka diangkat menjadi khalifah dari Syekh Burhan al-Din, baru mereka kembali ke kampung mereka masing-masing untuk mendirikan surau serta mengembangkan ilmu agama di surau tersebut.
Dari lima orang ulama ini, Buyuang Mudo, (yang bergelar Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik) Bayang, yang tidak begitu terdengar namanya sampai sekarang. Selebihnya gaungnya masih terdengar dan murid-muridnya masih pergi berziarah ke makamnya.
Sementara ke makam Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik tidak ada murid-muridnya yang pergi berziarah dan sepertinya sudah dilupakan. Bahkan masyarakat Pesisir Selatan pun tidak banyak yang mengenal makam Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik ini, padahal beliau adalah murid Syekh Abd al-Rauf Singkel dan Syekh Burhan al-Din serta pengembang agama Islam yang sangat berjasa di Pesisir Selatan.
Nama kecil Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik adalah Buyung Laman. Buyung Laman adalah kemenakan dari Imam Mangkudum yang berasal dari Koto Nan Tigo Kinari, Muara Panas, Koto Anau yang ditugaskan untuk mengembangkan agama Islam ke Nagari Bayang Nan Tujuh Pesisir Selatan, yang bertempat di Puluik-puluik.

Buyung Laman ingin melanjutkan pendidikan agamanya yang selama ini dia hanya mengikut mamaknya ke Bayang. Imam Mangkudum mendengar ada ulama besar di Aceh yang bernama Syekh Abd al-Rauf Singkel, murid dari Abd al-Qasyasyi di Mekkah, maka ia menganjurkan pada Buyung Laman untuk belajar ke Syekh Abd al-Rauf di Aceh.
Buyung Laman memberanikan dirinya untuk pergi ke Singkel, Aceh dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan di Rimbo Panti menuju Medan, dia bertemu dengan 3 orang yang sedang duduk di tepi jalan. Pada awalnya dia merasa ketakutan melihat 3 orang tersebut, jangan-jangan mereka gerombolan penyamun.
Buyung Laman memberanikan dirinya untuk menyapa mereka dengan “Assalamu’alaikum”, ternyata mereka membalas salam Buyung Laman. Baru senang hati Buyung Laman dan dia memperkenalkan dirinya kepada 3 orang pemuda tadi. Sebaliknya pemuda tadi juga memperkenalkan namanya masing-masing; Pertama, Mutanasir (Muhammad Nasir) dari Koto Tangah, Padang, kedua, Tarapang dari Solok dan ketiga, Datuk Maruhum Panjang dari Padang Ganting.
Ternyata, mereka sama-sama punya niat untuk menuntut ilmu agama kepada Syekh Abd al-Rauf Singkel di Aceh. Kemudian setelah itu datang si Pono yang juga bermaksud hendak pergi ke Aceh. Setelah mereka beristirahat sejenak, maka berangkatlah mereka berlima ke Aceh pada tahun 1040 H/1620 M87.
Sampai mereka di Aceh, mereka belajar ilmu agama kepada Syekh Abd al-Rauf Singkel. Selama lebih kurang 30 tahun Buyung Laman belajar mengaji sama Syekh Abd al-Rauf Singkel beserta empat orang temannya tadi. Dari yang lima orang tersebut hanya Syekh Burhan al-Din yang diangkat menjadi khalifah dari Syekh Abd al-Rauf Singkel. Selebihnya tidak diangkat menjadi khalifah dan belum diizinkan meninggalkan surau, tetapi mereka berempat berangkat juga pulang ke kampung halaman mereka tanpa mendapat restu dari guru mereka Syekh Abd al-Rauf.
Sesampainya mereka di kampung masing-masing, mereka mengajarkan agama Islam yang telah dipelajarinya di Aceh, tetapi masyarakat tidak mau mengikuti ajaran mereka bahkan mereka dibenci oleh masyarakat, sedangkan Syekh Burhan al-Din mendapat sambutan baik oleh masyarakat Pariaman.
Melihat kenyataan di atas, berangkatlah Buyung Mudo Puluik-puluik menemui temannya Muhammad Nasir di Koto Tangah Padang untuk melihat keadaannya. Ternyata Muhammad Nasir juga mengalami hal yang sama, dia juga dibenci oleh masyarakat. Melihat kenyataan ini, maka Buyung Mudo dan Muhammad Nasir pergi melihat temannya yang berdua lagi yakni Datuk Maruhun di Padang Ganting dan Tarapang di Kubung Tiga Belas.
Ternyata, teman-temannya yang dua ini juga mengalami kejadian yang sama dengan Buyung Mudo dan Muhammad Nasir. Oleh karena itu sepakat mereka pergi menemui guru mereka Syekh Abd al-Rauf di Aceh untuk minta maaf dan manambah ilmu yang mereka dapat selama ini pada tahun 1071 H.
Syekh Abd al-Rauf memaafkan mereka, tetapi untuk menuntut ilmu mereka tidak diterima lagi dan mereka dianjurkan untuk menuntut ilmu kepada Syekh Burhan al-Din di Ulakan, dengan alasan Syekh Burhan al-Din telah diangkat menjadi khalifah Syekh Abd al-Rauf untuk daerah Minangkabau. Semua kitab telah diberikan kepada Syekh Buhanuddin, Ilmu yang diterima Syekh Burhan al-Din dari Syekh Abd al-Rauf telah mencukupi, mulai dari ilmu fiqh, tafsir, hadis, ilmu tauhid dan ilmu tasawuf, menurut syekh tersebut itu telah sempurna.
Pada awalnya keempat orang tersebut ragu dengan Syekh Burhan al-Din, karena walaupun muridnya sudah banyak tetapi masyarakat masih dibiarkan memakan babi, tikus dan ular. Lalu Pada waktu itu Syekh Abd al-Rauf menasehati mereka bahwa;
“Adapun keadaan Syekh Burhan al-Din memasukkan rasa Islam kepada rakyat itu, aku sudah tahu semuanya. Itu adalah betul semuanya. Apa sebabnya, orang mengeluarkan fatwa harus perlaha-lahan, tidak boleh terburu-buru dan bersikap keras. Hendaklah melalui beberapa syarat, setengah dari padanya tidak mencari keuntungan dunia, kemegahan, hendaklah dengan lemah lembut melakukannya dan perlahan-lahan serta bijaksana. Bukan seperti yang kamu lakukan, terlalu keras mengeluarkan fatwa dan sangat terburu-buru mengerjakannya. Itulah sebabnya orang membeci kamu”.
Dari informasi diatas, dapat dipahami bahwa Syekh Burhan al-Din dalam mengajarkan agama Islam, melakukannya dengan secara perlahan-lahan. Dengan tidak disadari oleh masyarakat, telah bertukar agama dan kepercayaan mereka dari menyembah dewa kepada menyembah Allah SWT.
Setelah menerima nasihat dan amanah dari guru mereka Syekh Abd al-Rauf maka berangkatlah mereka menemui Syekh Burhan al-Din di Tanjung Medan, Pariaman. Mereka disambut dengan baik oleh Syekh Burhan al-Din dan ia memerintahkan kepada murid-muridnya untuk mendirikan 4 buah surau di Padang Sigalundi.
Mereka masing-masing menempati surau tersebut dan Syekh Burhan al-Din menyerahkan murid-muridnya kepada mereka. Malam hari mereka mengajar murid-murid Syekh Burhan al-Din dan siang hari mereka belajar kepada Syekh Burhan al-Din.
Oleh karena itu, Padang Sigalundi itu telah ada empat buah surau yang dihuni oleh beratus-ratus murid yang belajar disitu, maka orang kampung berdatangan pula ke situ. Sejak itu, Padang Sigalundi dimasyhurkan orang sebagai tempat orang ulakan, artinya tempat orang yang diulak atau ditolak oleh Syekh Abd al-Rauf dan diserahkan kepada Syekh Burhan al-Din. Oleh karena itu bertukarlah nama Padang Sigalundi dengan kampung Ulakan, artinya kampung tempat orang-orang yang diulak (ditolak) oleh Syekh Abd al-Rauf dan diserahkan kepada Syekh Burhan al-Din.
Sejak itu banyak orang kampung berdatangan ke kampung Ulakan. Ada yang membuat dangau (pondok), berladang disitu dan ada pula yang membuat kedai-kedai kecil buat berjualan kebutuhan sehari-hari.
Berkat kesungguhan mereka mengajar murid-murid Syekh Burhan al-Din dan belajar dengan sungguh-sungguh kepada syekh tersebut, akhirnya mereka menjadi alim. Akan tetapi keahliannya berlain-lain, seperti Datuk Maruhun ahli fiqh, Tarapang ahli ilmu nahu, M. Nasir ahli tafsir dan Buyung Mudo ahli dalam ilmu saraf. Setelah mereka manamatkan ilmu nahu, saraf, fiqh, tafsir, tauhid dan ilmu tasawwuf atas jalan tarekat Syathariyah, maka dilakukanlah khatam kaji kepada empat orang teman Syekh Burhan al-Din ini yang dihadiri oleh semua murid dan pemimpin-pemimpin surau dan orang-orang terkemuka di Ulakan, Tanjung Medan.
Setelah itu diumumkanlah di hadapan umum bahwa mereka adalah khalifah dari Syekh Burhan al-Din untuk nagari mereka masing-masing. Sejak itu mereka diberi gelar syekh di depan nama mereka. Buyung Mudo setelah menuntut ilmu kepada Syekh Burhan al-Din diangkat menjadi khalifah dan bergelar Syekh Buyung Mudo. Kemudian namanya lebih akrab dengan Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan.
Dengan datangnya agama Islam yang dibawa Syekh Burhan al-Din dan dikembangkan oleh kawan-kawannya dan murid-muridnya, maka terjadilah perubahan besar di alam Minangkabau. Walaupun agama Islam telah masuk ke Minangkabau beratus tahun sebelum Syekh Burhan al-Din, tetapi itu tidak kekal, karena kuatnya pengaruh Hindu dan Budha serta adat jahiliyah, sehingga apabila pembawanya sudah tidak ada lagi, maka agama yang dibawanya juga lenyap.
Setelah sampai di Kapujan, Kecamatan Bayang, Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik mendirikan surau yang disebut Surau Gadang. Kemudian surau ini berubah menjadi Masjid yang terbuat dari kayu di tepi sungai.
Syekh Buyung Mudo kawin dengan perempuan dari suku Tanjung Gadang di Kapujan, kemanakan dari Datuk Rajo Alam Panghulu Pucuk. Akan tetapi penulis belum menemukan siapa nama istrinya. Panambahan nama Puluik-puluik pada belakang namanya, karena dia sewaktu berangkat ke Aceh berasal dari kampung Puluik-puluik, Bayang.
Syekh Buyung Mudo ikut bersama Syekh Burhan al-Din membuat keputusan di Bukit Marapalam dengan kaum adat yang menghasilkan kesepakatan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Hal ini memang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. (sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya). Menurut penulis, pada masa Syekh Burhan al-Din baru ada kesepakatan antara Syekh Burhan al-Din dengan kaum adat dengan melahirkan kesepakatan “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Adat”. Setelah perang Padri berakhir tahun 1824, maka dibuat kesepakatan antara kaum agama dengan kaum adat di Bukit Marapalam yang berbunyi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Murid-murid Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik, diantara muridnya yang terkenal dan menggantikannya mengajar di surau dan kemudian surau tersebut dirobahnya menjadi masjid adalah Syekh Muhammad Yatim dan Angku Tantuo, yang terakhir ini disebut dengan Haji Painan. Kedua muridnya ini dianggap keramat oleh masyarakat Pesisir Selatan.
Penulis : Dr. Firdaus, M.Ag, Dosen Jurusan SKI, Fakultas Adab dan Humaniora, IAIN Imam Bonjol Padang.